.....W E L C O M E TO M Y B L O G....

Minggu, 07 Agustus 2011

Apakah Anda Menyukai Tebu Atau Gulanya?

Hore, Hari Baru! Teman-teman.

“Habis manis, sepah dibuang,”

betapa pandainya para sepuh kita membuat perumpamaan. Orang-orang yang dinilai
sudah tidak berguna lagi disisihkan begitu saja. Kadang kita marah,
kalau diperlakukan seperti sepah. Padahal, kita juga akan membuang sepah itu
jika sudah tidak ada lagi rasa manisnya. Ini soal siapa pelaku dan siapa
korbannya saja. Kita tidak suka jadi korban, itu saja. Bukankah kita juga tidak
ingin menyimpan sepah dirumah? Wajar jika sepah itu dibuang. Yang tidak wajar
adalah yang belum menjadi sepah sudah dibuang. Juga tidak wajar jika kita sudah
menjadi sepah, tetapi menuntut orang lain untuk terus menerus menikmati rasa
manis yang sudah tidak kita miliki lagi. Ngomong-ngomong, ‘sepah’ itu apa sih?

Meski bukan daerah penghasil
gula, namun di rumah masa kecil saya terdapat rumpun-rumpun pohon tebu. Kami
menggunakan parang untuk memotong batangnya, lalu mengupas kulitnya. Kemudian
memotong batang tebu itu menjadi seukuran jari-jari telunjuk. Setelah itu? Kami
mengungahnya. Rasa manis memenuhi mulut kami. Lalu tiba saatnya dimana kunyahan
itu hanya menyisakan rasa tawar saja. Di mulut kami sekarang hanya tertinggal
ampas. Kami meludahkan ampas itu ke tanah. Benda tak berdaya diatas tanah
itulah yang kita sebut sebagai sepah. Habis manis, sepah dibuang. Memangnya
harus diapakan lagi sepah itu jika tidak dibuang? Kita sering menggambarkan
hidup yang sudah tidak berguna sebagai sepah. Kita sadar jika sudah tidak
berguna, tetapi masih ngotot untuk tidak dibuang. Itu mengindikasikan bahwa ini
adalah saatnya untuk mengubah paradigma tentang hidup. Bagi Anda yang tertarik menemani
saya belajar memperbaiki paradigma hidup itu; saya ajak untuk memulainya dengan
memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Jadilah pemanis kehidupan. Disekitar kita begitu banyak orang yang suka
minum kopi. Tetapi, saya hampir tidak pernah mengenal orang yang minum kopi
tanpa gula. Bahkan sekalipun kita menyebutnya ‘kopi pahit’, ternyata ya
menggunakan gula juga. Mengapa gula selalu ada dalam setiap cangkir kopi yang
disajikan? Karena gula membuat rasa pahit pada kopi terasa menjadi manis. Anda
yang mengetahui rasa asli kopi tentu tahu jika sebenarnya kopi itu mirip arang.
Karbon yang tersisa dari benda hangus. Makanya rasanya tidak benar-benar enak.
Tetapi, ketika kedalam seduhan kopi pahit itu kita bubuhkan gula; tiba-tiba
saja kita menikmatinya. Bahkan menjadikannya sebagai minuman favorit. Bayangkan
jika kita bisa membuat rasa pahit kehidupan menjadi terasa manis. Tentunya kita
tidak akan lagi harus disiksa oleh rasa pahit itu. Bahkan boleh jadi, kita
menjadi penikmat rasa pahit itu. Kita bisa menari dalam deraan tantangan dan
rintangan. Kita masih bisa tersenyum ditengah terpaan angin cobaan. Dan kita
masih bisa bersyukur meski tengah berada dalam pahit getirnya cobaan hidup.
Semoga kita bisa menjadi pribadi yang mampu memaniskan kehidupan.

2. Jadilah pribadi yang manis, maka pasti selalu dikerubuti. Ditempat
tidur saya tiba-tiba saja banyak sekali semut. Setelah diperiksa, ternyata ada
sisa-sisa gula dari kue kering yang kami makan bersama anak-anak. Ternyata
benar; ada gula, ada semut. Para semut tidak lagi memperdulikan lokasi dan
situasi. Dimana ada gula, kesitulah mereka berbondong beriringan. Ini tidak
hanya benar bagi para semut. Coba saja perhatikan orang-orang yang bisa memberi
manfaat bagi lingkungannya. Para dermawan, selalu dikerubungi oleh para
pengikut setianya. Para alim ulama dan orang-orang berilmu, selalu menjadi
rujukan para pencari pencerahan. Siapapun yang bisa memberi manfaat kepada
orang lain, bisa dipastikan selalu dibutuhkan oleh mereka. Kita? Sesekali orang
lain itu mbok ya membutuhkan kita gitu loh. Tapi mengapa yang terjadi malah
sebaliknya ya? Mereka malah mengira
seolah kita ini tidak ada. Sekalipun kita sudah menyodor-nyodorkan wajah kita.
Tetap saja masih tidak mereka lihat. Sudah beriklan, bahkan. Tapi juga tidak
ditanggapi. Barangkali, karena kita belum bisa menjadi pribadi yang manis bagi
mereka. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk mengerubuti segala sesuatu
yang terasa manis.

3. Tetaplah manis, maka sepahmu tidak pernah dibuang. Mari
berhenti untuk marah atau kecewa jika orang lain membuang kita karena mereka
menilai kita sudah menjadi sepah. Mereka tidak salah. Kitalah yang harus
berpikir bagaimana caranya supaya tidak menjadi sepah. Sebab jika kita masih
tetap memiliki rasa manis itu, mereka tidak akan membuang kita, percayalah.
Saya mengenal seorang eksekutif senior yang mumpuni. Setelah memasuki masa
pensiun dari jabatanya yang tinggi, saya pikir beliau akan menjadi seperti ‘tebu-tebu’
yang lainnya. Ternyata saya keliru. Perusahaan kemudian memperpanjang masa
kerjanya dengan system kontrak. Lalu beliau berpindah ke perusahaan lain. Lalu
beliau ditarik lagi oleh perusahaan lainnya. Bagi saya, beliau inilah salah
satu living legend mereka yang tidak pernah membiarkan dirinya ‘kehilangan rasa
manis’. Meski usianya sudah jauh melampaui masa pensiun, beliau tetap manis. Rasa
manis yang masih tetap lestari didalam dirinya itulah yang menjadikan beliau
tetap menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar. Jadi jika kita tidak ingin menjadi sepah yang dibuang,
maka kita harus memastikan bahwa kita tetap menjadi pribadi yang manis.

4. Nikmatilah rasa manis secukupnya, tidak berlebihan. Sekarang,
cobalah ambil sesendok gula terbaik yang Anda miliki. Lalu suapkan sesendok
gula itu kedalam mulut Anda, dan kunyahlah. Apakah Anda masih menikmati rasa
manisnya? Pada dasarnya, semua orang menyukai rasa manis. Namun, tak seorang
pun bisa melahapnya terlalu banyak. Kita semua mendambakan manisnya kehidupan. Dan
kita sering terlalu serakah untuk merengkuhnya sendirian. Bahkan gula pun mengajari
kita bahwa terlalu banyak rasa manis membuat kepala kita pusing, bahkan kita
bisa mengalami sindrom toleransi insulin. Sungguh keliru jika kita mengira
hidup yang manis itu adalah yang semuanya serba indah. Tidak. Justru hidup yang
terlalu indah cenderung menjadikan kita pribadi yang serakah. Semacam sindrom
toleransi insulin kehidupan. Tidak peduli betapa banyak insulin yang diproduksi
dalam tubuh Anda, gula akan tetap menumpuk dalam darah Anda. Tahukah Anda apa
yang terjadi ketika dalam darah kita terdapat lebih banyak gula dari yang
seharusnya? Hmmmh, Anda tentu paham yang saya maksudkan. Bahkan rasa manis
kehidupan yang terlalu banyak pun bisa membahayakan kehidupan diri Anda
sendiri. Maka nikmatilah rasa manisnya kehidupan, namun tidak perlu berlebihan.

5. Semanis apapun kita, tidak bisa lepas dari fitrah. Sepah di
kebun tebu kami jumlahnya tidak terlalu melimpah. Namun jika dibiarkan tetap
saja menjadi sampah. Kami punya banyak pilihan untuk memperlakukannya. Jika kami
membuangnya ke kolong kandang domba, maka sepah itu akan menambah nutrisi pada
pupuk kandang yang kami dapatkan. Jika kami membuangnya ke kolam ikan, maka dia
akan menjadi tempat tumbuhnya plankton dan jentik-jentik makanan penggemuk ikan.
Jadi, apanya yang terbuang dari seonggok sepah? Tidak ada. Sepah benar-benar
menyadari bahwa dia tidak bisa melawan fitrah. Semua orang yang pernah muda
akan menjadi tua. Semua yang gagah perkasa akan menjadi tak berdaya. Semua yang
kuat menjadi lemah. Itulah fitrah. Tetapi mari sekali lagi kita lihat sang
sepah. Bahkan setelah masuk tempat sampah, dia tetap saja menjadi anugerah.
Jika kita ikut mengimani konsepsi hidup setelah mati, maka kita lebih beruntung
lagi. Karena dengan keyakinan itu kita kita bisa berharap memetik buah manis
tabungan kebaikan yang pernah kita lakukan semasa hidup. Kita boleh berharap
itu, karena iman kita mengajarkan bahwa setiap amal baik yang pernah kita lakukan
atas nama Tuhan, akan membuahkan imbalan yang sepadan. Beruntunglah kita yang
percaya, karena setidak-tidaknya kita memiliki harapan; bahwa fitrah kita
adalah untuk mempersiapkan tempat pulang alam keabadian.

Tidak perlu lagi untuk merasa
kecewa karena telah dihempaskan oleh lingkungan yang Anda harapkan memberikan
penerimaan. Mungkin mereka benar telah menghempaskan kita karena kita belum
bisa memberi rasa manis yang mereka butuhkan. Mungkin juga mereka keliru karena
tidak bisa menghargai rasa manis yang kita miliki. Tetapi, bukan itu yang perlu
menjadi fokus perhatian kita sekarang. Cukuplah untuk selalu memikirkan,
bagaimana caranya agar kita bisa memberikan lebih banyak lagi rasa manis?
Karena dengan rasa manis yang kita tebarkan, kita tidak perlu meneriaki para
semut untuk mengerubuti. Insya Allah, cepat atau lambat; mereka akan datang
sendiri.


Catatan Kaki:
Jika kita merasa dibuang dari lingkungan
yang kita inginkan, mungkin itu karena kita sudah tidak memiliki rasa manis
yang bisa kita berikan. Atau, rasa manis kita lebih dibutuhkan ditempat yang
lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar